Para pembaca yang semoga mendapat rahmat Allah ta’ala,
Tidak terasa bergulirnya waktu siang dan malam Ramadhan hampir meninggalkan kita, berlambai hendak menjauh pamit dan undur diri.
Wahai Dzat yang Menguasai dan Mengatur waktu dan alam semesta ini. Pertemukan kembalilah kami dengan bulan yang penuh berkah dan keutamaan ini dengan kondisi yang lebih baik dari segala sisinya, sungguh Engkau Maha Mampu akan hal itu, perbaikilah ibadah dan amalan-amalan kami. Jadikanlah kami hamba yang terbaik dipenutupan penghujung bulan ini, dan terimalah dari ibadah serta ketaatan yang kami lakukan, Allahumma Amiin.
Maka, ini semua para pembaca rahimakumullah, menunjukkan semakin berkurangnya umur-umur kita dan dilipatnya catatan amalan-amalan kita, oleh karenanya mari kita manfaatkan untuk bersegera bertaubat, beramal shaleh, memperbaiki diri dan menyempurnakan yang kurang.
Sebelum berakhirnya peluang emas ini yang tinggal sejenak dihadapan kita, karena amalan-amalan itu dinilai dengan penghujungnya, di atas kebaikan dan ketaatankah ? atau di atas kejelekan dan dosa ? Semoga Allah ta’ala menjadikan kita semua dari hamba-hamba-Nya yang taat dan patuh sampai akhir hidup kita dan diwafatkan di atas keislaman digolongkan bersama orang-orang yang Shalih, Allahumma Amiin.
Diantara sekian amalan ibadah dan ketaatan yang disyariatkan dipenghujung Ramadhan ini, sebagai penyempurna dan pensuci dari segala kekurangan, kejelakan dan perkara yang sia-sia serta dosa yang kita lakukan sebelumnya semasa berpuasa, yaitu Allah ta’ala mensyariatkan zakat fitrah yang hal itu Allah ta’ala wajibkan bagi seluruh kaum muslimin baik anak kecil ataupun dewasa, laki-laki ataupun wanita, merdeka ataupun hamba sahaya, sebagai bentuk pemberian makan dan memberikan bantuan terhadap orang-orang miskin.
Pembaca yang semoga Allah ta’ala rahmati,
Dalam zakat fitrah ini ada beberapa permasalahan yang patut untuk kita ketahui, secara ringkas kami akan mencoba menuangkannya disini, yang tak luput tentunya kami memohon petunjuk serta kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala.
Diantaranya:
I. Pensyariatan zakat fitrah.
Disyariatkannya zakat fitrah berdasarkan Al Qur’an, hadits dan Ijma’ :
1. Dalam nash Al Qur’an
Allah ta’ala berfirman :
( قَدْ أَفْلَحَ مَنْ تَزَكَّى (١٤) وَذَكَرَ اسْمَ رَبِّهِ فَصَلَّى (١٥
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan dia ingat nama Tuhannya, lalu dia shalat.”(Q.S Al ‘Ala : 14-15)
Diantara makna tafsir ayat ini adalah zakat fitrah, sebagaimana yang telah dikutip oleh Al Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya (4/706) dan Asy Syaikh Assa’di hal. 880 (Taisir Karimir Rahman)
2. Dalil dari hadits diantaranya :
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ : فَرَضَ رَسُوْلُ اللّٰهِ ﷺ زَكاَةَ الْفِطْرِ صاعًا مِنْ تَمْر,ٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ عَلیَ الْعَبْدِ وَ الْحُرِّ وَ الذَّكَرَ والأنثى وَالصَّغِيرِ وَ الْكَبِيْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْن وأمرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّی قَبْلَ خُرُوْجِ النَّاس إِِلَی الصَّلاَة.ِ
( رواه البخاری ؐ(١٥٠٣) و مسلم (٩٨٤
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: “Rasulullah ﷺ telah mewajibkan zakat fitrah berupa satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum atas hamba sahaya dan yang merdeka, lelaki dan perempuan, anak kecil dan dewasa, yang mereka semua dari kalangan kaum muslimin. Beliau memerintahkan untuk mengeluarkannya (zakat fitrah) sebelum manusia keluar untuk menunaikan shalat ‘Id.” (HR Bukhari No. 1503 dan Muslim No. 984)
3. Adapun berdasarkan Ijma’,
Al Imam Ibnu Qudamah telah menukilkan Ijma’ dari Al Imam Ibnul Mundzir rahimahullah, Beliau berkata :
“Telah kami hafal padanya dari kalangan para ulama, bahwasanya zakat fitrah hukumnya wajib.” (Al Mugni 4/281) dikuatkan oleh Imam Ishak bin Rahawaih.
Kendatipun disana ada yang menyelishi dari Ijma’ ini, seperti : Imam Abu Hanifah rahimahullah karena beliau membedakan lafadz wajib dengan fardu, Ibrahim bin Ulayyah dan Abu Bakr bin Kaisan Alasham, seperti yang disebutkan oleh Imam Ibnu Hajar dalam Fathulbari (3/416 cet.Darul Hadits). Al Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim (4/67), Nailul Athar (4/181)
II. Kapan diwajibkanya pensyariatan zakat fitrah ?
Zakat fitrah diwajibkan di bulan Ramadhan yaitu ditahun ke dua Hijriah. (Taudihul Ahkam, 3/371)
III. Kenapa zakat yang dikeluarkan diakhir Ramadhan ini dinamakan dengan zakat fitrah ?
Dinamakan zakat ini dengan zakat fitrah karena termasuk dari suatu perkara yang disandarkan kepada sebabnya yaitu berbuka atau berakhirnya Ramadhan (الفطر) Lihat Fathulbari (3/416), Tanbihul Afham (1/551), Tandihul Ahkam (3/371).
IV. Apa hikmahnya disyariatkanya zakat fitrah ?
Tidak diragukan lagi bahwa syariat Allah ta’ala pasti mengandung hikmah yang agung dan manfaat yang besar lagi banyak, baik yang diketahui dan disaksikan oleh akal dan panca indra kita ataupun yang tidak terjangkau oleh akal dan panca indra kita, kita tetap meyakini ada hikmah yang sempurna dibalik itu, diantara sekian hikmah dan mafaatnya adalah :
- Hikmah dan manfaat bagi orang-orang yang berpuasa itu sendiri, yaitu sebagai pensuci bagi mereka dari segala celah kekurangan dan kejelekan tatkala berpuasa dan sebagai bentuk syukur terhadap anugerah serta karunia Allah ta’ala yang telah memberikan kesempatan hingga sempurna akhir Ramadhan kepadanya di atas kesehatan badan-badan mereka dan keselamatan agamanya serta keamanan dalam berbuat ketaatan kepada-Nya, senantiasa mereka bergelimang di atas nikmat dan karunia Allah ta’ala yang terus dirasakan tiada henti.
- Hikmah dan manfaat yang berkaitan dengan segenap masyarakat kaum muslimin, yaitu: adanya keterkaitan erat saling bahu membahu antara orang-orang yang fakir dan miskin, dengan memberikan dan membantu untuk memenuhi apa yang mereka butuhkan dari makanan di hari ‘Id, sehingga mereka pun kalangan fakir bisa senang dan bahagia dihari raya, serta terjalin kasih sayang dan kecintaan sesama mereka, dikarenakan muslim dengan muslim yang lain saling bersaudara, saling mengasihi, menyayangi, mencintai dan saling bahu membahu dalam segala sisi dan kondisinya.
Diantara hikmah-hikmah tadi tertuang dalam hadits Rasulullah ﷺ, Beliau bersabda :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما قَالَ : فَرَضَ رَسُوْلُ اللّٰهِ ﷺ زَكاَةَ الفِطْرِ طُهْرَة لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ, وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِيْنِ, فَمَنْ أَدَّّاهاَ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُوْلَةٌ, وَ مَنْ أَدّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ .
رواه ابو داود و ابن ماجه وصححه الحكم
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma beliau berkata: “Rasulullah ﷺ telah mewajibkan zakat fitrah sebagai pensuci bagi yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan keji, dan sebagai pemberian makan terhadap orang-orang miskin, barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat (‘Id) maka teranggap zakat fitrah yang diterima, dan barangsiapa menunaikan setelah shalat (‘Id), teranggap sebagai sedekah dari sedekah-sedekah biasa.” (HR Abu Dawad No. 1609 dan Ibnu Majah No. 1827 dishahihkan oleh Imam Hakim, dan hadits dihasankan oleh Syaikh Albani di Shahihul Jami’ No. 3570 dan Shahih Targib No. 1085)
V. Siapa sajakah yang diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah ?
Orang-orang yang wajib mengeluarkan zakat fitrah telah disebutkan oleh Rasulullah ﷺ dalam hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dimuka dalam Shahih Bukhari dan Muslim, yaitu, semua kalangan kaum muslimin meliputi : hamba sahaya, orang-orang merdeka (bukan budak), kalangan laki-laki dan perempuan, anak kecil dan dewasa. Sehingga zakat fitrah tidak wajib dan tidak diterima disisi Allah ta’ala dari orang-orang kafir.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَىٰ وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ
“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.” (Q.S Attaubah:54)
Ayat ini menunjukan bahwa amalan-amalan shalih dan ketaatan-ketaatan yang seandainya dilakukan oleh orang-orang kafir, maka tidak akan diterima di sisi Allah ta’ala sampai terlebih dahulu mereka berislam dan beriman dengan syariat yang dibawa oleh Rasulullah ﷺ
Disebutkan pula oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mugni (4/283): Zakat fitrah tidak wajib atas orang-orang kafir, baik kalangan merdekanya (bukan budak) ataupun kalangan hamba sahayanya.
Adapun hamba sahaya (budak) yang muslim, zakat fitrahnya dikeluarkan oleh majikanya (tuannya) yang muslim pula, berdasarkan hadits Abu Hurairah Radhiyallah ‘anhu, Rasulullah ﷺ bersabda :
لَيْسَ عَلَی الْمُسْلِمِ فِی عَبْدِهِ صَدَقَةٌ إِلاَ صَدَقَةُ الفِطْرِ
( رواه مسلم (٩٨٢
“Tidak ada kewajiban bagi seorang muslim atas budaknya dari sedekah melainkan sedekah fitr saja (zakat fitrah).” (HR Muslim No. 982)
Adapun wanita yang sudah menikah, zakat fitrahnya ditunaikan oleh suaminya dan menjadi tanggunganya, kecuali apabila suami tersebut miskin dan sang istri berharta, maka boleh sang istri mengeluarkan zakat fitrah dari hartanya untuk dirinya kepada suaminya, karena istri bukan orang yang wajib menafkahi suami.
Hal ini pendapat Imam Malik, Syafi’i dan jumhur ulama, dikuatkan oleh Syaikh Al ‘Utsaimin rahimakumullah.
Lihat penjelasan Ibnu Taimiyyah yang dinukilkan dalam Majmu Fatawa (23/311) dan Al ‘Utsaimin dalam syarhul Mumti (6/155) dan Majmu fatawa Al’ Utsaimin (18/509), Lajnah Daimah (10/62)
Adapun anak kecil, jumhur ulama berpendapat zakat fitrahnya dikeluarkan oleh para walinya dari harta mereka atau dari orang-orang yang memberikan nafkah kepada mereka, dari orang tuanya dan yang bertanggung jawab dalam hal itu.
VI. Bagaimanakah dengan janin, bayi yang dikandungan ibunya ? Apakah wajib pula ditunaikan zakat fitrahnya oleh orang tuanya ?
Al Imam Ibnul Mundzir menukilkan ijma bahwa zakat fitrah atas janin tidak diwajibkan, demikian pula Imam Ahmad Beliau pun tidak mewajibkan. Hanya saja mustahab (sunnah) dikeluarkan zakat fitrahnya. Adapun sebagian pengikut madzhab Hambali mereka dalam satu riwayat berpendapat wajibnya zakat fitrah atas janin, demikian pula Ibnu Hazm dengan ketentuan kalau hamilnya sudah berusia 120 hari lebih.
Adapun alasan janin tidak wajib zakat fitrah, mereka berpendapat karena janin yang dikandung tersebut belum jelas perkaranya, apakah lahir dalam kondisi hidup atau tidak, dan dikarenakan pula janin secara bahasa dan kebiasaan manusiapun tidak masuk dalam kategori shagir (anak kecil), sebagaimana tertera dalam hadits.
Lihat Fathulbari (3/418), Almughni (4/316), Taudihul Ahkam (3/375), Taisirul ‘Alam syarah hadits (173), Lajnah Daimah (9/366).
VII. Apa sajakah yang patut dan layak dijadikan sebagai zakat fitrah ?
Beranjak dan bertumpu dari hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Beliau mengkisahkan kepada kita :
كُنَّا نُعْطِيْهَا فِی زَمَنِ النَّبِيَّ ﷺ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيْب.
ٍ متفق عليه
( في رواية البخاری أََوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ )
Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu berkata: “Dahulu kami menyalurkan zakat fitrah dimasa Nabi ٝﷺ berupa 1 sha’ makanan (hinthah) atau 1 sha’ kurma, 1 sha’ gandum atau 1 sha’ anggur yang telah di keringkan (zabib).” (HR Bukhari No. 1508 dan Muslim No. 985).
Dalam riwayat Bukhari (1506) “1 sha’ aqith (susu yang telah dikeringkan dan asam).”
Dari sinilah para ulama berselisih tentang perkara-perkara apa sajakah yang patut dijadikan dan dikeluarkan sebagai zakat fitrah.Yang hal itu menjadi beberapa pendapat, diantaranya:
1. Pendapat Al Imam Ahmad rahimahullah,
Berpendapat zakat fitrah itu terkhusus dikeluarkan dari lima jenis makanan saja, yaitu: hinttah, sya’ir (keduanya dari jenis gandum), kurma, zabib (anggur yang telah dikeringkan) dan aqith (susu yang telah dikeringkan dan rasanya asam), selama salah satunya dari jenis makanan ini masih ada, adapun jika punah, maka boleh dengan bahan makanan pokok lainya. Beliau berhujjah dengan dhahir hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu di atas. Sehingga menurut pendapat ini tidak boleh zakat fitrah dengan selain lima jenis makanan ini selama mampu dan ada, serta bisa didapati makanan tersebut.
2. Pendapat Imam Malik dan Syafi’i :
Zakat fitrah boleh dengan bahan makanan apa saja yang hal itu merupakan makanan pokok suatu daerah, meskipun lima jenis makanan yang tertera dalam hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu masih ada dan mampu didapatkan.
Hal ini adalah pendapatnya kebanyakan para ulama, bahkan datang dalam suatu riwayat dari Imam Ahmad pula dan pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qoyyim serta Syaikh Bin Baz.
• Berkata Asy Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah,
“Makanan apa saja yang dikonsumsi manusia hal itu boleh untuk dijadikan sebagai zakat fitrah. Adapun dalam hadits disebutkan hanya 4 atau 5 perkara saja, karena hal itu adalah makanan manusia di zaman Nabi ﷺ “
• Berkata Syaikh Abdullah Al Bassam rahimahullah,
“Yang paling utama dari 5 jenis makanan yang tertera dalam hadits dan makanan yang selainnya adalah yang paling bermanfaat bagi yang menerima sedekah (zakat) tersebut, yang denganya bisa terpenuhi dan tercukupi kebutuhanya dan intinya sebagai pemberian bagi orang-orang miskin dihari raya (‘Id).”
Lihat syarah Shahih Muslim (4/69), Majmu Fatawa (25/68-69), Taudihul Ahkam (3/379), Majmu Fatawa Ibnu Baz (14/197), Tanbihul Afham dan Taisirul ‘Alam terhadap syarah hadits (173)
VIII. Bagaimana hukumnya mengeluarkan zakat fitrah dengan uang ?
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
“Yang ma’ruf dari madzhab Imam Malik dan Syafi’i dan Ahmad, bahwasanya hal itu tidak diperbolehkan“, pendapat ini dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu fatawanya (14/213) dan Syaikh Al ‘Utsaimin rahimahullah dalam Tanbihul Afham (1/555) dan Majmu Fatawanya (18/279) bahkan beliau menganggap tidak sah dan Syaikh Fauzan rahimahullah dalam Al Muntaqo Fatawa Al Fauzan (2/335) Dikarenakan dahulu Nabi ﷺ dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum tidak mengeluarkan zakat fitrah berupa uang, tetapi dengan makanan. Sementara mereka adalah orang-orang yang lebih tahu tentang syariat ini, mana yang dibolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan.
Adapun madzhab Abu Hanifah, mereka membolehkan zakat fitrah dengan uang, dan pendapat inipun diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz.
Suatu ketika pernah disampaikan oleh orang-orang kepada Imam Ahmad rahimahullah, kata mereka : “Bahwasanya dahulu Umar bin Abdul Aziz menjadikan zakat fitrah dengan uang,” seraya Imam Ahmad rahimahullah, berkata : “Mereka telah meninggalkan petuah Nabi ﷺ ”. Al Muntaqo Fatawa Al Fauzan (2/335) Mulakhos Fiqhiyyah (1/282)
IX. Berapa takaran atau ukuran yang dikeluarkan dari makanan untuk zakat fitrah ?
Hadits-hadits telah berlalu di muka bersama kita, baik dalam hadits Ibnu Umar ataupun hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhuma dalam Shahih Bukhari dan Muslim menunjukan bahwa zakat fitrah dikeluarkan seukuran 1 sha’ ( 1 sha’ = 4 mud) atau 4 cangkupan dua genggaman tangan yang (sedang) memadai dari takaran sha’ yang ada di masa Nabi ﷺ dan setelahnya.
Ini merupakan pendapat imam Malik, Syafi’i dan jumhur ulama (Syarah shahih muslim, 4/68)
Yang apabila hal itu di sesuaikan dengan timbangan kurang lebih 2,040 Kg menurut pendapat Syaikh Al ‘Utsaimin dalam Tanbihul Afham (1/552) dan Majmu Fatawanya (18/277) serta Fatawa Arkanil Islam (429).
Adapun menurut Syaikh Abdullah Al Bassam 1 sha’ seukuran dengan 3 Kg.
Bagaimana kalau seandainya ada yang menunaikan zakat fitrah kurang dari itu atau bahkan lebih dari ukuran yang seharusnya?
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah,
“Yang menunaikan zakat fitrah lebih dari ukuran yang disyariatkan hal itu dibolehkan dan tidak dibenci menurut pendapat kebanyakan para ulama, seperti : Syafi’i, Ahmad, dan selain mereka berdua, adapun yang menganggap hal itu makruh adalah pendapat yang dinukil dari Imam Malik.”
Adapun zakat fitrah kurang dari takaran yang wajib, maka hal itu tidak boleh berdasarkan kesepakatan para ulama.
X. Kapan waktu mengeluarkan zakat fitrah ?
Di antara para ulama ada yang membagi menjadi beberapa waktu :
1. Waktu yang dianggap boleh mengeluarkan zakat fitrah disebut waktu jawaz.
- Kalangan Hanafiyyah membolehkan untuk mengeluarkanya 1 atau 2 tahun sebelumnya. Mereka mengkiaskan kepada zakat mal (harta)
- Kalangan Syafi’iyyah membolehkan mengeluarkanya mulai dari awal Ramadhan.
- Kalangan Malikiyyah tidak membolehkan secara mutlak mendahulukan mengeluarkanya sebelum akhir Ramadhan, karena dianggap seperti shalat sebelum waktunya.
- Kalangan Hambali mereka membolehkan untuk mendahulukan mengeluarkannya dua hari sebelum ‘Id, mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma dalam Shahih Bukhari (1511):
وَكَانُوْا يُعْطُوْنَ قَبْلَ الفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ.
“Dahulu mereka mengeluarkanya (memberikanya) satu atau dua hari sebelum Idul Fitri”
Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdurrahman Assa’di rahimahullah. Lihat Fathulbari (3/426-427), Taudihul Ahkam (3/375-376)
2. Waktu Wujub atau fadhilah (Waktu wajib atau utama) dalam mengeluarkan zakat fitrah.
Ada dua pendapat padanya :
- Pendapat Ats-Tsauri, Syafi’i dalam pendapat barunya, Ahmad dan satu riwayat dari Malik. Bahwa waktu wajib dan utama mengeluarkanya setelah matahari terbenam dimalam ‘idul fitri, karena waktu itu adalah waktu berakhirnya dari Ramadhan, sehingga barang siapa yang wafat setelah terbenam matahari diakhir Ramadhan wajib untuk dikeluarkan zakat fitrahnya, demikian pula yang lahir dan masuk islam sejenak sebelum terbenam matahari diakhir Ramadhan wajib dikeluarkan zakat fitrahnya. Adapun yang meninggal sebelum terbenam matahari dan lahir serta masuk islam setelah matahari terbenam di akhir Ramadhan tidak wajib dikeluarkan zakat fitrahnya.
- Pendapat Abu Hanifah, Al Laits, Syafi’i, dalam pendapat lamanya, Malik dalam riwayat kedua : waktu wajib mengeluarkannya setelah terbit fajar (shadik) pada hari Idul fitri, mereka beralasan karena malam bukan waktu untuk berpuasa dan hakekat jelasnya dianggap berbuka tidak dianggap berpuasa lagi setelah terbit fajar (shadik). Sehingga menurut pendapat mereka jika ada orang yang wafat sebelum terbit fajar dan masuk islam serta lahir setelah terbit fajar, tidak wajib dikeluarkan zakat fitrahnya.
- Waktu Qodha disertai dosa,
Yaitu yang mengeluarkan zakat fitrah setelah shalat Id, bagi yang memiliki udzur syar’i baik karena lupa,atau mungkin tidak didapati faqir miskin di malam Id, atau sebab lainya yang syar’i, maka tiada dosa baginya mengeluarkan setelah shalat ‘Id atau ketika dia ingat, namun yang mengeluarkan pada waktu itu tanpa memiliki udzur syar’i, maka hal itu tidak teranggap, karena zakat fitrah ibadah yang waktunya telah ditetapkan.
Lihat Majmu fatawa Ibnu Baz (14/217), Majmu Fatawa Ibnu ‘Utsaimin (18/271)dan Majalis Syahru Ramadhan karya Syaikh Fauzan hal.217
XI. Seperti apa kriteria yang wajib mengeluarkan zakat fitrah dari kalangan kaum muslimin tersebut ?
Berkata Al Imam Nawawi rahimahullah: Imam Syafi’i, dan jumhur ulama berpendapat, bahwasanya zakat fitrah wajib dikeluarkan dari seorang muslim yang memiliki makanan pokok berlebih untuk dirinya dan keluarganya di hari ‘Id dan malamnya. Sehingga zakat fitrah tidak ada nishabnya (ketentuan takaran wajib mengeluarkannya)
Lihat untuk pembahasan 10 dan 11 di Fathul Bari (3/417), Syarah Shahih Muslim (4/67-68), Majmu Fatawa Ibnu Baz (14/197), Taudihul Ahkam (3/376), Majalis Syahru Ramadhan, 217. Karya Al Fauzan
XII. Siapakah yang berhak menerima zakat fitrah ?
Hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah, menunjukkan bahwa kalangan fakir miskin lebih didahulukan dalam hal ini. Ada pula yang berpendapat zakat fitrah sama disalurkan ke salah satu dari 8 kelompok yang berhak menerima zakat harta yang tertera dalam surat At-taubah:60, dengan tetap mendahulukan kalangan fakir dan paling lemahnya kata Ibnu Taimiyyah adalah pendapat yang mengharuskan untuk dibagikan ke 12 atau 18 atau 24 atau 32 atau 28 kelompok dan yang semisalnya.
Lihat Majmu Fatawa (25/72-74), Addararil Mudiyyah (121).
Berkata Al-Imam Asy Syaukani rahimahullah : “Hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu menunjukan bahwa zakat fitrah dibagikan kepada orang-orang miskin tidak kepada kelompok yang lainnya dari yang berhak menerima zakat, sebagaimana hal ini adalah pendapatnya Alhadi, Alqosim dan Abu Thalib.” (Nailul Authar, 4/186)