Niat keikhlasan dalam menuntut ilmu. Kalau kita dasari menuntut ilmu dengan keikhlasan, semua akan ringan, semua halangan-halangan dan hambatan-hambatan itu tiada arti, tidak terasa berat, meski makan hanya dengan tempe, kangkung atau bahkan tidak makan apapun terasa ringan, demikianlah ketika seseorang menuntut ilmu didasari dengan keikhlasan.
Keikhlasan itu MasyaAllah, selain keutamaan-keutamaan yang sangat luas dari tinjauan syariat. Demikian pula secara realita, betapa banyak perkara-perkara yang teramat sulit dan berat, tapi perkara itu menjadi mudah dan ringan dengan keikhlasan, ikhwatifillah. Kita lihat kiprah para Ulama dahulu dalam menuntut ilmu, bagaimana seperti makanan mereka, perjalanan mereka, bekal mereka, amat jauh bila dibandingkan dengan masa kita sekarang ini, tapi karena mereka menuntut ilmu didasari dengan keikhlasan sehingga ringan bagi mereka, mereka tidak berkeluh kesah karena tidak makan tiga hari, empat hari atau lima hari Sangat berbeda dengan kita, sehari tidak ada uang saku padahal ada nasi dan lauk karena sebab itu langsung merajuk tidak ingin belajar, hanya karena tidak dikasih uang saku.
Oleh karena itu Bercerminlah dengan para Ulama dahulu, Ikhwatifillah, jangankan uang saku, uang untuk makan saja mereka sulit, terkadang tidak ada nasi atau lauk pauk, tetapi itu tidak lantas membuat mereka terhenti dari menuntut ilmu.
Keikhlasanlah yang membuat mereka semangat dan kuat dalam menuntut ilmu, thayyib. Ini faidah secara realita, secara fakta, belum lagi jika faidah tersebut ditinjau dari nash-nash syar´i yang sangat banyak.
Yang kedua, hendaklah kalian sabar dalam menuntut ilmu agama. Sabar disini mencakup banyak aspek dan faktor, baik faktor bagaimana kalian menghadapi lingkungan ilmu. Kondisi ma’had misalnya yang tidak ada AC atau kolam renang atau makan-makanan rumah seperti daging yang semisalnya maka oleh karena itu sabar ikhwatifillah, dalam menghadapi lingkungan ketika kita menimba ilmu.
Berkata Ibnu Hisyam rahimahullah :
ومن يصطبر للعلم يظفر بنيله
“Barang siapa yang dia sabar untuk meraih ilmu, atau sabar untuk mendapatkan ilmu, maka dia akan meraihnya”
Lika-liku dalam mendapatkan ilmu butuh dihadapi dengan kesabaran, jika tidak sabar ketika diuji dengan lingkungan ilmu maka akhirnya pindah ke ma´had lain, karena fasilitas di ma´had tidak memuaskan, dari kamar mandinya atau tempat tidurnya misalkan. Kemudian pindah ke tempat lain, ternyata di Ma’had lain sama kasusnya, ia tidak sabar lagi dengan lingkungan ma’had, akhirnya pindah lagi.. حب التنقل. Berulang kali pindah, cari yang ternyata fasilitas pondoknya seperti hotel, meski akhirnya dapat di pondok-pondok yang tidak jelas, maka ikhwatifillah inilah pentingnya untuk sabar dalam menuntut ilmu.
Belum jika kita dihadapkan dengan masalah air, misalkan air di ma´had itu ternyata asin, banyak teman-teman kita, saudara-saudara kita, yang mereka belajar di ma´had ilmu yang berdekatan dengan laut, airnya asin, lengket dibadan, lengket dirambut dan lainnya, oleh karena itu membutuhkan kesabaran dalam menghadapinya.
Belum lagi soal cuaca panas terik atau sebagian mereka tinggal di lingkungan ilmu yang cuaca sangat dingin, maka itu semua membutuhkan kesabaran dalam menuntut ilmu, thayyib.
Yang kedua, kesabaran juga mencakup kesabaran ketika kita berguru kepada seorang guru. Mungkin kita dapati guru yang terlihat galak, tegas, sedikit senyum, tegang, atau serius, tidak bisa bercanda umpamanya, maka kalian harus sabar dalam menghadapinya. Karena perkara ini jika kita tidak sabar menghadapinya maka akan hal ini pun akan menghempaskan kita.
Bayangkan, jika kita tidak sabar menghadapinya, seorang akan mencari dan mencari terus sampai ia mendapatkan sosok guru yang ia anggap memuaskan, sehingga apa ? terharamkan baginya untuk menimba ilmu kepada guru yang lainnya, Karena ia tidak bisa bersabar dalam menghadapinya …
Ingatkah kita terhadap kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir alaihumassalam dalam surat al-Kahfi ?, maka kalau kita perhatikan seksama padanya terdapat faedah, butuhnya sikap sabar ketika berguru kepada seseorang. Karena seorang guru itu tidak sembarangan memberikan ilmu maka ia ingin menguji dan memilih siapa murid yang bisa bersabar ketika mengambil ilmu darinya.
Seperti kita dengar juga kisah mengenai tukang sihir yang ingin mewariskan ilmu sihirnya, tukang sihir itu tidak lantas sembarangan dalam mencari penerusnya, tapi ia cari orang-orang yang sekiranya pantas untuk dia mewarisi ilmunya.
Na’am, bahkan kepada Nabi Musa alaihi sallam diuji sehingga berkata Khidir alaihi salam kepadanya :
( إنك لن تستطيع معي صبرا )
“Kamu tidak akan bisa sabar dengan saya…” (Al-Kahfi : 67)
Sang Guru melihat, memprediksikan, apakah ada kesabaran dalam diri muridnya atau tidak ? thayyib, hal ini menunjukkan seseorang dalam memberikan ilmu tidak sembarangan. Hanya orang-orang yang layak dan pantas saja yang berhak menerimanya.
Yang kedua ikhwatifillah, dalam menuntut ilmu mengharuskan kita untuk sabar dan bersyukur dalam menghadapi Guru, jikalau dalam perjalanan menuntut ilmu, umpamanya kita diminta untuk menyetorkan hafalan kita, maka kerjakanlah jangan pilah-pilih guru, harus disadari bahwa ini merupakan salah satu upaya mendapatkan keberkahan ilmu.
(BERSAMBUNG)
📝Tim Redaksi
———————————————————
#Transkip_audio_ Nasehat teruntuk Para Santri
(Dengan penyuntingan kata tanpa mengurangi makna InsyaAllah)